Pages

Rabu, 27 Juli 2011

Sejarah Kain Sasirangan

dikutip dari:banyak sumber

Jika masyarakat Lampung punya kain Tapis, Jawa punya Batik, Palembang punya Songket, maka masyarakat Kalimantan Selatan punya kain Sasirangan. Kain Sasirangan merupakan kain khas dari daerah Kalimantan Selatan. Kain Sasirangan sudah ada sejak zaman Kerajaan dahulu kala di Kalimantan Selatan, yaitu sekitar abad ke-17. Masyarakat Banjar percaya bahwa kain Sasirangan tidak hanya sebatas pakaian atau kain biasa saja, namun memiliki nilai sakral dan nilai magis yang tinggi. Kata Sasirangan berasal dari kata sirang yang berarti diikat atau dijahit dengan tangan dan ditarik benangnya atau dalam istilah menjahit disebut dengan dijelujur. Menurut cerita orang tua, dulunya Sasirangan digunakan sebagai pakain yang dipakai dalam upacara-upacara adat atau juga untuk menyembuhkan orang yang sakit.
Menurut cerita rakyat masayarakat Banjar, kain Sasirangan yang pertama dibuat pada masa kerajaan Negara Dipa. Pada mulanya kain Sasirangan disebut dengan kain Langgundi, yaitu kain tenun yang berwarna kuning. Kain Langgundi merupakan kain yang digunakan sebagai bahan untuk membuat pakaian harian seluruh warga kerajaan Negara Dipa. Dikisahkan pada saat itu Patih Lambung Mangkurat sedang bertapa menggunakan lanting untuk mencari seorang raja untuk kerajaan Negara Dipa. Ketika sedang bertapa, Patih Lambung Mangkurat mendengar suara perempuan yang menanyakan maksudnya dan diapun menjelaskan maksud pertapaannya tersebut adalah untuk mencari seorang raja di kerajaanya. Suara perempuan itupun mengatakan bahwa raja yang sedang dicari oleh Patih Lambung Mangkurat itu adalah dirinya, namun perempuan itu mengatakan dia hanya akan menampkkan diri jika Patih Lambung Mangkurat memenuhi permintaanya. Perempuan itu meminta Patih Lambung Mangkurat untuk membuatkannya sebuah istana yang megah yang dibangun oleh 40 orang perjaka dan sehelai kain Langgundi yang ditenun oleh 40 orang perawan, yang keduanya itu harus selesai dalam waktu satu hari. Patih Lambung Mangkurat menyetujuinya dan langsung melaksanakanya.
Pada saat yang telah ditentukan, maka perempuan itu menampakkan diri. Perempuan itu keluar dari dalam air dengan cantiknya dengan menggunakan kain Langgundi yang telah ditenun oleh 40 orang perawan. Perempuan itu disebut oleh warga kerajaan Negara Dipa dengan sebutan Putri Junjung Buih, karena muncul dari dalam air yang beriak/berbuih.



Sejak saat itulah warga kerajaan Negara Dipa tidak berani lagi menggunakan kain Langgundi/Sasirangan karena takut kualat terhadap Putri Junjung Buih. Hal ini mengakibatkan banyak pengrajin kain Langgundi yang tidak lagi membuatnya. Meskipun demikian tidak semuanya berhenti membuat kain Langgundi ini. Masih ada beberapa yang tetap membuatnya, namun tidak untuk dijadikan sebagai pakaian sehari-hari melainkan untuk pengobatan bagi penyakit yang bersifat magis.
motif-sasiranganMenurut keyakinan masayarakat Banjar yang [kadang-kadang] masih dipengaruhi oleh kepercayaan animisme dan dinamisme, maka banyak penyakit yang disebabkan oleh gangguan makhluk halus dan kain Langgundi/Sasirangan merupakan suatu media untuk penyembuhannya. Biasanya penyakit yang dapat disembuhkan oleh kain Langgundi ini adalah penyakit pingitan, yaitu penyakit yang berasal dari ulah para leluhur yang tinggal di alam roh. Dalam kurun waktu tertentu akan ada anak, cucu, buyut, intah, ataupun yang lain akan terkena penyakit pingitan ini dan untuk penyembuhannya mereka harus mengenakan kain Langgundi. Sebagai media penyembuhan, kain Langgundi bisa digunakan sebagai sarung, kemben, selendang, atau juga ikat kepala (laung). Corak dan warna kain Langgundi sangatlah beragam, karena setiap jenis penyakit pingitan memerlukan corak dan warna kain Langgundi tertentu juga. Sejak digunakan menjadi media pengobatan, maka kain Langgundi lebih dikenal dengan sebutan kain Sasirangan.
Selain kain Langgundi, kain Sasirangan juga disebut dengan kain Pamintan (permintaan) karena dibuat berdasaarkan permintaan. Sebelum adanya pewarana sintetik, kain Sasirangan dulunya menggunakan pewarna alami dari alam, misalnya dari pohon Karamunting, Mengkudu, Akar Kebuau, Gambir, Pinang, dan lain sebagainya. Selain pewarna-pewarana alami tersebut, kain Sasirangan biasanya juga menggunakan beberapa bahan dari alam untuk memperkuat ketahanan warnanya, misalnya seperti jeruk nipis, tawas, kapur, dan lain sebagainya.
Seiring dengan perkembangan zaman, kain Sasirangan mulai kehilangan kesakralannya. Setiap orang bisa saja menggunakan kain Sasirangan dalam berbagai bentuk (baju, selendang, kerudung, dll) tanpa harus dibayangi  rasa cemas akan kualat terhadap leluhur. Bahkan sekarang ini kain Sasirangan sudah banyak dijadikan sebagai pakaian seragam bagi instansi-instansi atau sekolah-sekolah di Kalimantan Selatan pada hari-hari tertentu. Akan tetapi ini sebenarnya juga merupakan suatu hal yang baik, karena dengan demikian maka kain Sasirangan akan menjadi lebih dikenal dan dengan sendirinya akan mengangakat nama Kalimantan Selatan dimata dunia. Namun ada satu hal yang cukup menyedihkan bagi masayarakat Kalsel khususnya, yaitu beberapa motif kain Sasirangan telah dipatenkan oleh negara Jepang (mudah-mudan aset-aset yang lainnya tidak lagi…). Meskipun demikian, jika orang menyebut kain Sasirangan maka sudah pastilah diidentikkan dengan Kalimantan Selatan, bukan yang lain.
Nah, mulai sekarang kita sebagai generasi penerus budaya alangkah baiknya melestarikan dan mengenalkan kain Sasirangan kepada dunia. Kita harus bangga dengan kain yang asli dari daerah kita sendiri. Jangan sampai kita lebih menghargai budaya luar daripada budaya kita sendiri karena kalau bukan kita, siapa lagi? Dan kalau tidak mulai dari sekarang, kapan lagi?

SEMOGA BERMANFAAT,^^

0 komentar:

Posting Komentar

tinggalkan komennya ya,, trimakasih,,

 

Copyright © Husein Blog. Template created by Volverene from Templates Block
lasik surgery new york and cpa website solutions
WP theme by WP Themes Expert